Di dunia perilisan ulang sebuah album musik, tak ada yang demikian ditunggu kehadirannya seperti Badai Pasti Berlalu. Kini setelah dirilis pertama kali dalam format kaset pada 1977, Elevation Records dan Mastersound merilis secara resmi dalam format piringan hitam.
Menurut Johan Mantiri, CEO PHR Pressing, proses masteringnya mengalami penyempurnaan sampai tujuh kali sebelum akhirnya dituntaskan oleh Bill Skibbe dari Third Man Mastering. Sampul albumnya digarap ulang oleh Ramizi Firhad, Lody Andrian dan Herry Sutresna a.k.a Ucok Homicide. Dilengkapi poster dan buklet berisi linear note dan informasi lain. Boleh jadi kemasannya merupakan salah satu rilisan piringan hitam yang digarap serius.
Launchingnya yang berlangsung di Senayan Park, pada Minggu, 25 Agustus 2024, menyedot perhatian. Erros Djarot tampil sebagai pembicara utama didampingi para pemain filmnya seperti Roy Marten, Christine Hakim dan Slamet Rahardo. Untuk diketahui, nama terakhir ini adalah perancang kover albumnya yang ikonik itu. Sayang, para musisi yang terlibat langsung tidak nampak seperti Keenan Nasution, Fariz RM dan terutama Berlian Hutauruk.
“Gw nggak bisa hadir, Bro …Sorry ada tugas keluarga,” jawab Fariz RM melalui pesan wahatsapp tentang ketidakhadirannya. Dari tiga belas lagu versi album, ia mengisi sebelas lagu di antaranya. Dua lainnya diisi oleh Keenan Nasution, yaitu “Angin Malam” dan “Cintaku”.
Susunan lagu di dalamnya merujuk kepada piringan hitam versi pertama, bukan versi kaset. Sehingga “Semusim” (Berlian Hutauruk) serta dua lagu instrumental, “Merpati Putih” dan “E & C & Y”, luput dimasukab. Menurut Taufiqurahman, co-founder Elevation, untuk menampilkan format kaset diperlukan dobel album yang tentu saja akan berimplikasi pada harga jual. Sementara Erros menginginkan angka yang bersahabat agar publik akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk memilikinya.
Harganya memang relatif terjangkau, yaitu Rp. 495.000 untuk piringan warna hitam dan Rp. 595.000 untuk piringan warna hijau. Siasat ini cukup berhasil. Sejak dibuka pre order pada 4 Agustus lalu, permintaannya melonjak.
“Selama 4 hari PO vinyl BADAI PASTI BERLALU melalui toko ini, hampir 200 vinyl ini yang terpesan dengan nilai omset ratusan jt” tulis Irham Fikry, seller yang membuka lapak di jalan Dipati Ukur no 68, Bandung.
Jika mengacu kepada rilisan awal, seharusnya dalam kover yang tertulis adalah nama Christian, bukan Chrisye. Seperti diketahui, nama aslinya adalah Christian Rahadi. Pada 1982 ia menjadi mualaf dan mengganti namanya menjadi Chrisye. Setelah melalui konsultasi dengan pihak Erros Djarot, pihak Elevation dan Mastersound sepakat tetap mencantumkan nama terakhir. “Kami ingin menghormati keluarga almarhum,” demikian Taufiqurahman.
Membicarakan Badai Pasti Berlalu tak akan pernah ada habisnya. Setiap kali pembahasan selalu saja memunculkan cerita baru. Dan, seperti karya-karya monumental pada umumnya, proses kelahirannya tak melalui sebuah rencana besar.
Usai mengerjakan music score untuk film garapan sutradara Teguh Karya itu, Erros berencana membuat versi albumnya. Ia lalu mengajak Chrisye dan Jockie Suryo Prayogo. Namun materinya masih kurang. Yang tersedia hanya tiga lagu: “Badai Pasti Berlalu” dengan vokal Berlian Hutauruk, “Merpati Putih” dan “Baju Pengantin” yang dibawakan oleh Broery Pesolima.
Erros kemudian mengotak-atik music score dari film Perkawinan Dalam Semusim yang dikerjakannya dengan kibordis Debby Nasution. Beberapa komposisi ia buatkan liriknya sehingga lahirlah “Angin Malam”, “Khayalku”, “Pelangi”, “Semusim” dan “Cintaku”.
“Jadi, untuk versi lagu yang diambil dari film Jockie hanya memainkan ulang musik yang notasinya sudah dibuat oleh Debby,” ceritanya.
Informasi ini sesuai dengan ucapan Jockie beberapa tahun silam dimana untuk lagu-lagu yang berasal dari film dia mengaku hanya menyempurkannnya. Ada pun komposisi ciptaannya baru muncul pada saat proses rekaman berlangsung. Termasuk “Merepih Alam” dan “Serasa” yang lirik aslinya ditulis Erros dalam bahasa Prancis. Menurutnya, itu persembahan untuk sang pacar.
Nama Chrisye sendiri sudah diajukan Erros pada saat pengerjaan music score tengah berlangsung, namun ditolak oleh Teguh Karya karena lebih menginginkan Broery Pesolima yang popularitasnya tengah menjulang.
“Vokal Broery seperti angin malam, mengalun tenang. Sedang vokal Chrisye lebih seperti rintihan alam dan jeritan anak muda,” Slamet Rahardjo memberi komparasi.
Seperti halnya Chrisye, Berlian Hutauruk pun tidak disetujui oleh Teguh Karya. Namun kali ini Erros Djarot tak ingin ditolak untuk kedua kali. “Chrisye boleh dicoret, tapi untuk Berlian, dia (Teguh Karya) harus ikuti cara saya,” ceritanya terkekeh.
Semula Erros mengincar Bornok Hutauruk sebagai kandidat penyanyi wanita. Namun beberapa temannya membisisikan nama adiknya, Berlian Hutauruk, yang saat itu masih duduk di kelas dua SMA. Pilihan pun berganti. Dan, terbukti sudah, pesona lagu-lagu yang diisi vokal Berlian awet sampai sekarang.
Album Badai Pasti Berlalu direkam oleh sekelompok anak muda dalam suasana penuh cinta dan pertemanan. Mereka saling berbagi dan terbuka pada kemungkinan baru. Ketika membutuhkan drummer dengan gaya permainan out the box, misalnya, Fariz RM pun dilibatkan. Saat itu masih bersekolah di SMA Negeri 3 jakarta.
Sebagai inisiator, Erros mengerahkan kemampuannya menulis lirik-lirik puitis berbekal keterpengaruhannya pada pengaruh Leo Tolstoy, sastrawan pembaharu Rusia. Segala romantisme tentang keindahan cinta ia ekspresikan kata per kata, dibalut oleh aransemen bernuansa progresif yang tengah digandrungi mereka.
“Waktu album itu dibuat gue lagi demen-demennya Genesis,” cerita Jockie Suryo Prayogo suatu saat. Kelompok musik lain yang mempengaruhi saat itu adalah Gentle Giant, King Cromson dan Yes.
Sadar hasilnya tak akan dilirik label, Erros merogoh kocek sendiri untuk membiayai seluruh pembuatannya. Setelah itu segera kembali Eropa guna melanjutkan sekolahnya di bidang perfilman. Urusan selanjutnya diserahkan kepada Chrisye.
Tahun 1978 Berlian Hutauruk menggugat Irama Mas, pengedar kaset album tersebut, agar menariknya dari peredaran seraya menuntut ganti rugi sebesar Rp. 20 juta. Pengacara Albert Hasibuan ketika itu beralasan bahwa kliennya hanya dikontrak menyanyikan lagu untuk versi film, tidak termasuk untuk album soundtrack. Beberapa belas tahun kemudian, giliran Jockie Suryo Prayogo murka ketika format compact disc beredar tanpa sepengetahuannya. Selanjutnya adalah cerita riuh gugat-menggugat berkepanjangan. Suasana pertemanan berubah penuh pertikaian.
“Saya dituduh membawa lari uang segala macam, yang benar saja,” kata Eros yang tak percaya bahwa di Indonesia seseorang bisa menjadi kaya dari bermain musik.
Baginya sebuah karya seni tak selalu harus dikonversi ke dalam hukum ekonomi. Ia tidak pernah mau ambil pusing dengan segala perhitungan bisnis. Itulah sebabnya pendekatan resmi dari sejumlah perusahaan rekaman yang bermaksud merilis ulang Badai Pasti Berlalu selalu kandas.
Sikapnya ini mengemuka saat berlangsung launching berlangsung. Menanggapi usulan agar Elevation Records dan Mastersaound menerbitan oiringan hitam special edition atau versi single untuk mengakomodir lagu-lagu yang belum tercantum, enteng saja ia berkata:
“Kalau kamu punya uang ,yo wis bikin saja. Tidak usah pusing. Lisan saya ini sebagai izin resmi,” katanya menengok pada Taufiqrahman yang bertindak sebagai moderator.
Berbeda dengan kaset yang meledak sekitar tiga tahun kemudian, penjualan format pringan hitamnya berlangsung senyap. Ali Gunawan, kolektor piringan hitam yang memiliki lebih dari 20.000 keping, punya cerita menarik. Tahun 1985, menyusul protes Bob Geldof atas proyek Live Aid-nya yang dibajak di Indonesia, terjadi penjualan besar-besaran piringan hitam kepada para pedagang di jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Musik Indonesia mau pun Barat diobral sama murahnya. Ali pun membeli Badai Pasti Berlalu seharga Rp. 20.000.
Ali tidak mengetahui dengan pasti sejak kapan harga piringan hitam Badai Pasti Belalu meroket. Kini di market place bisa mencapai Rp 40 juta atau lebih. Angka yang tidak masuk akal ini juga dirasakan oleh Soleh Solihun.
“Album ini salah salah satu album lokal yang harganya tak masuk akal jika dicerna logika awam,” tulis komedian dan sutradara itu melalui akun medsosnya.
Terlepas dari persoalan wajar atau tidak, melalui album ini Erros Djarot dan kawan-kawan telah berhasil meletakkan nilai baru yang mengubah cara pandang generasi muda akan makna cinta dalam kontek musik pop. Bahwa kualitas lirik dan aransemen musik haruslah mengedepankan wibawa kesenian.
Fakta yang tidak terbantahkan itu menjadi dasar rujukan ketika saya bersama David Tarigan (demajors), Theodore KS (alm) dan Denny Sakrie (alm), diminta oleh majalah Rolling Stone Indonesia untuk membuat daftar 150 Album Indonesia Terbaik Sepanjang Masa (edisi Desember 2007).
Dengan segala kontroversi dan pencapaian kreatifnya, Badai Pasti Berlalu layak menempati ruang ‘sakral’ bersama deretan masterpiece lain yang membawa perubahan seperti halnya Sgt Pepper’s Lonely Hearts Club Band (The Beatles), Exile on Main St. (The Rolling Stones), London Calling (The Clash), Imagine (John Lennon), A Night at the Opera (Queen), Blonde on Blonde (Bob Dylan) atau pun Nevermind (Nirvana). (*)
Penulis : Denny MR (dilengkapi informasi dari beberapa sumber).
Sumber: https://kamarmusik.id/badai-pasti-berlalu-mengapa-dianggap-sakral/